Kata ramadhan merupakan bentuk mashdar qiyasi dari ramadha-yarmadhu-ramdhan wa ramadhan, yang secara harfiah berarti panas terik (شدة الحر). Disebut bulan Ramadhan, karena menjadi sarana menggugurkan dosa-dosa hamba Allah yang menunaikan ibadah puasa (يرمض أي يحرك الذنوب). Perintah berpuasa di bulan Ramadhan dinyatakan dalam QS al-Baqarah [2] ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu juga telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, semoga kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.”
Khitab ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang yang beriman (أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا). Muhammad ‘Ali al-Shabuni mengatakan, ada dua tujuan Allah memanggil “orang-orang yang beriman”.
Pertama, untuk menggerakkan rasa ketaatan yang dimiliki orang-orang yang beriman (ليحرك فيهم مشاعر الطاعة). Kedua, untuk mengobarkan spirit keimanan yang telah tertanam dalam jiwa orang-orang yang beriman.[1] Muhammad ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i al-Asy’ari al-Makki menambahkan, bahwa maksud panggilan Allah kepada “orang-orang yang beriman” adalah ungkapan memuliakan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman.[2] Setelah Allah SWT memanggil orang-orang yang beriman, baru masuk ke konten perintah puasa di bulan Ramadhan. Redaksi kalimat yang digunakan dalam perintah puasa, yaitu kalimat pasif: “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ”.
Kata al-Shiyam yang tadinya sebagai objek (مفعول به) menduduki kedudukan subjek (نائب الفاعل). Jadi redaksi kalimat aktifnya: “ كتب الله له عليكم الصيام” (Allah telah mewajibkan berpuasa kepada kalian). Di sini Allah sebagai fa’il (subjek), yakni yang memerintahkan orang-orang yang beriman agar berpuasa selama sebulan penuh di bulan suci Ramadhan. Dalam perspektif ilmu tafsir, kata al-shiyam yang menduduki posisi fa’il (subjek) memberikan bobot makna filosofis bahwa seakan-akan berpuasa di bulan Ramadhan itu diwajibkan sendiri oleh orang-orang yang beriman, karena keberadaan puasa sangat urgen dan diperlukan. Dampak (output) dari puasa Ramadhan adalah tercapainya idealitas manusia, yaitu menjadi orang yang bertakwa. Hal ini ditegaskan dengan kalimat “لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”. Huruf لَعَلَّ merupakan doa yang fungsinya للترجي, pengharapan yang sangat mungkin terjadi. Atas dasar itu, puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan akan mengantarkan orang-orang yang beriman menjadi orang-orang yang bertakwa.
Huruf لَعَلَّ jika masuk pada fi’il mudhari’ (kata kerja bentuk sekarang dan akan datang), maka memastikan makna yang akan datang (من أدوات المستقبل). Sedangkan fi’il mudhari’ fungsinyaللإستمرار (terus-menerus). Jadi arti لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ: “semoga kalian wahai orang-orang yang beriman, setelah menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh, menjadi orang-orang yang bertakwa secara kontinyu (terus-menerus).
Aktualisasi makna takwa secara etimologis, kata takwa bermakna الإتخاد بالوقاية (menjaga diri). Pengertian terminologis takwa tercermin dalam rangkuman dialog antara sahabat Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab. Berawal dari pertanyaan Umar kepada Ubay, “apa hakikat makna takwa? Ubay balik bertanya kepada Umar, apakah engkau pernah melakukan suatu perjalanan yang di atas jalan tersebut banyak durinya? Umar menjawab, ya aku pernah. Lalu Ubay bertanya kembali, apa yang engkau lakukan ketika itu? Umar menjawab, aku berhati-hati dan bersungguh-sungguh menjaga kedua kakiku agar tidak tergelincir menginjak duri-duri yang ada di atas jalan. Ubay menegaskan, itulah hakikat makna takwa”.[3]
Dari dialog Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab dapat dirumuskan bahwa hakikat makna takwa adalah “ berhati-hati dan bersungguh-sungguh menjaga diri, baik perkataan maupun perbuatan agar tidak terjerumus pada hal-hal yang terlarang.” Imam al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-‘Abidin memaknai arti takwa sebagai integrasi rasa takut (الخشية والهيبة) kepada Allah, taat, dan membersihkan hati dari dosa ( تنزيه القلب عن الذنوب). Orang yang bertakwa adalah orang yang percaya kepada yang ghaib, menegakkan shalat, suka berinfak, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan yakin akan adanya hari akhirat (QS al-Baqarah [2]: 3-4).
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ . وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka (3) dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. (4)
Orang yang bertakwa suka memberi harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, dan orang yang meminta-minta, memerdekakan hamba sahaya, menepati janji bila berjanji, bersabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan (QS al-Baqarah [2]: 177).
۞ لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ – ١٧٧
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Orang yang bertakwa senantiasa menafkahkan hartanya baik di waktu senang maupun di waktu sempit, mampu mengendalikan dirinya ketika marah, suka memaafkan kesalahan orang lain, segera bertobat bila melakukan perbuatan dosa yang merugikan dirinya dan orang lain (keji) serta dosa yang merugikan dirinya (ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ) (QS Ali ‘Imran [3]: 134-135). Orang yang bertakwa selalu berbuat kebaikan, sedikit sekali istirahatnya di malam hari lantaran sibuk mengingat Allah, dan pada waktu sahur memperbanyak istighfar (QS al-Dzariyat [51]: 16-18).
اٰخِذِيْنَ مَآ اٰتٰىهُمْ رَبُّهُمْ ۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا قَبْلَ ذٰلِكَ مُحْسِنِيْنَۗ – ١٦ كَانُوْا قَلِيْلًا مِّنَ الَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ – ١٧ وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ – ١٨
mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik (16); mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam (17); dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). (18)
Dengan demikian, orang yang bertakwa tolok ukurnya konsisten dengan kebaikan. Indikator orang yang bertakwa: terjaga kualitas komunikasi horisontal dengan sesama umat manusia (hablun min al-nas), dan terjaga kualitas komunikasi vertikal dengan Allah swt (hablun min Allah). Orang yang bertakwa ialah orang yang dapat mengendalikan amarahnya. Puasa di bulan Ramadhan sebagai upaya melatih diri, mengasah jiwa, dan mengasuh kalbu agar meraih derajat termulia, yakni takwa. QS al-Hujurat [49] ayat 13 menyebutkan,
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ…
“… sungguh orang yang paling mulia di antara kalian menurut Allah adalah yang paling bertakwa”.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa pada bulan Ramadhan ada seorang wanita sedang mencaci-maki pembantunya. Rasulullah saw mendengar peristiwa itu, kemudian beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil perempuan tersebut. Rasulullah saw bersabda: “makanlah makanan ini. Wanita itu menjawab, saya sedang berpuasa wahai Rasulullah”. Rasul bersabda lagi, “bagaimana mungkin kamu berpuasa, padahal kamu mencaci-maki pembantumu.” Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang (hijab) bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan (ma aqalla al-shawam wa ma aqalla al-jawa’).”[4]
Orang yang bertakwa selalu menjaga dirinya tidak memakan hak orang lain. Salah satu pesan moral ibadah puasa di bulan Ramadhan yaitu “dilarang memakan makanan yang haram”, bahkan makanan halal pun tidak boleh dimakan sebelum datang waktunya yang tepat. Sahabat ‘Ali karramallahu wajhah pernah berkata: “janganlah jadikan perutmu sebagai kuburan hewan”. Bila dikaitkan dengan pesan moral puasa Ramadhan, maka perkataan sahabat ‘Ali mengingatkan, jangan jadikan perutmu sebagai kuburan orang lain, jangan jadikan perutmu sebagai kuburan rakyat kecil, dan jangan pindahkan tanah milik mereka ke perutmu.
Pesan ini sangat relevan dengan kondisi sekarang; ketika manusia dikejar-kejar oleh konsumtivisme (senang berfoya-foya dan berbelanja barang-barang yang tidak bermanfaat) serta dikejar-kejar untuk meningkatkan status sosial, tidak jarang yang berani memakan hak orang lain. Mereka sering menjadi omnivora (binatang pemakan segala) tanpa memperhatikan halal dan haram. Puasa Ramadhan juga mengajarkan, walaupun harta itu milik kita, tetapi tidak boleh memakannya sebelum datang waktunya yang tepat. Filosofinya, tidaklah orang yang memperoleh harta yang berlimpah, melainkan di sampingnya ada hak orang lain (QS al-Ma’arij [70]: 24-25). Bahkan jika membiarkan nasib anak yatim dan orang miskin terlantar, maka dikategorikan pendusta agama (QS al-Ma’un [107]: 1-3).
Spirit Ramadhan sangat erat dengan kesalehan sosial. Misalnya, ketika terjadi kasus pasangan suami istri melakukan hubungan biologis pada siang hari di bulan Ramadhan, Kafaratnya ialah memberi makan enam puluh orang miskin, karena salah satu pesan moral puasa yaitu memperhatikan orang-orang yang di lapar di sekitarnya. Kasus lain, orang-orang yang tidak sanggup berpuasa, diharuskan mengeluarkan fidyah bagi orang-orang miskin (QS al-Baqarah [2]: 184). Ini menggambarkan, jika tidak sanggup menjalankan ritual puasa, maka paling tidak, laksanakanlah pesan moral puasa, yakni menyantuni fakir miskin. Di akhir tulisan ini, penulis menegaskan bahwa dalam ajaran Islam harus ada keseimbangan antara kesalehan spiritual dan kesalehan sosial. Puasa di bulan Ramadhan menekankan pada peningkatan kualitas iman dan amal saleh. Secara teologis, puasa berarti upaya menghadirkan Allah dalam jiwa manusia yang selalu mengawasi di mana pun berada (QS al-Nisa’ [4]: 1). Dalam tinjauan sosiologis, puasa adalah upaya meneladani sifat-sifat ketuhanan untuk diwujudkan di dalam realitas kehidupan. Karakteristik ini tergambar dalam pohon thayyibah: akarnya kokoh terhunjam di dalam tanah, rantingnya menjulang tinggi ke angkasa, dan memberikan buahnya dengan seizin Tuhannya. Akar menggambarkan akidah (keyakinan), ranting menggambarkan ibadah (hubungan vertikal dengan Allah), dan buah menggambarkan akhlak.
——————————————————-
Muchtar Syaifudin, S.Pd.I
Guru Al-Qur’an Hadis
——————————————————-
[1] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, Jilid 1, h. 108
[2] Dalil al-Falihin, Jilid 4, h. 19
[3] ‘Imad al-Din Abi al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Al-Mishbah al-Munir fi Tahdzib Tafsir ibn Katsir, h. 32
[4] Mizan al-Hikmah, [5]: 472